Kemarin saya sempat membaca tweet dari seorang trainer yang mengasuh konflik suami istri dimana sang istri galak dan dominan. It sound like me!
Dalam hidup, saya mengalami dua trauma berat.
1. Masa kecil saya yang mendapatkan banyak physical abusement
2. Kenakalan remaja
Trauma tersebut memunculkan inferiority complex dalam diri saya dan membuat saya introvert. Senang berkenalan dengan orang baru namun membatasi diri untuk akrab hanya dengan beberapa trust-able people. Jika ditanya, saya akan merasa diinterfensi, kalau saya ingin bercerita saya akan bicara. Jika ada yang memaksa mengorek tentang kehidupan saya, benteng diri saya muncul dan keluarlah sikap defensif.
Sudah berapa lama saya mencoba healing? Seumur hidup. Bukan dengan menemui psikolog, namun belajar dan memperhatikan sekitar. Hal-hal seputar hubungan antar manusia, problematika teman-teman, observasi terhadap kehidupan rumah tangga dan anak-anak orang lain serta menolong diri sendiri dengan menolong orang lain.
Saya khawatir, ke-inferior-an ini akan memberikan dampak negatif pada keluarga yang akan saya bangun nantinya (suami dan anak-anak saya).
I’m good but bad. I’m hot and cold.
I could switch into a naughty girl but also a sweet girl.
I’m positive but negative.
I need more positive energy.
Lalu hari ini, tepatnya 30 Desember 2012, it accidentally ring the bell.
Saya mengikuti Seminar The Secret Of Jodoh. Dan secara tidak langsung mendapatkan jawaban dari beberapa pertanyaan dalam hidup saya seputar hubungan antar pria dan wanita yang melibatkan feeling/emosi secara mendalam seperti dalam pernikahan.
Jodoh.
A. Konsep jodoh itu ada 3:
1. Cermin
Bercerminlah setiap hari dan tanyakan pada diri sendiri. Dengan saya yang egois, pemarah, cuek, baru bisa beberapa resep masakan, suka bangun kesiangan dan malas bersih-bersih, adakah yang mau sama saya? 😀
Pasangan kita adalah cerminan diri kita.
As simple as, kalau kita menginginkan pasangan yang sempurna, jadilah sempurna.
2. Saling memberi
Ketika suami sibuk mencari nafkah, istri bertanya, “Mana waktu buat saya?”.
Apakah dalam membina rumah tangga dibutuhkan uang?
Ya! Kalau begitu, saling memberilah. Beri perhatian, semangat dan pengertian.
Bukan saling menuntut. Semakin dituntut,seseorang akan semakin merasa tertekan dan bukannya merasa didukung.
3. Soulmate itu dibentuk
Jika seseorang sudah menikah, apakah artinya mereka akan hidup bahagia sejahtera selamanya?
Belum tentu.
Menikah itu mempertemuan dua kepentingan. Dua manusia, beda kepala.
Masalah? Ya! Tidak ada pernikahan adem ayem gitu aja. Pasti ada konflik. Oleh karena itu disini dibutuhkan kemauan dan kemampuan untuk saling membangun kepercayaan, menumbuhkan rasa sayang dan memupuk kesetiaan pada pasangan kita.
Happily ever after itu sebuah perjuangan. Bukan given.
B. Cara benar cari jodoh:
1. Cleansing
Bersihkan diri dan hati kita dari TRAUMA masa lalu, dan luruskan niat menikah kita.
2. Upgrading diri
Bekali diri kita dengan ilmu dan skill-skill yang akan dibutuhkan dalam pernikahan nanti. Seperti, bagaimana mengkomunikasikan sebuah masalah dengan cara yang tidak menyinggung/menggurui pasangan kita, cara memanage emosi kita, skill memasak, dan lainnya.
3. Selecting
Saat gayung sudah bersambut, kita bisa menyeleksi siapakah orang yang tepat untuk menjadi pasangan hidup kita salah satunya dengan cara saling mengutarakan visi dan misi hidup ke depan.
Dalam hal ini, trainer mencontohkan dirinya sendiri yang bervisi untuk bergerak di bidang kesehatan, maka beliau mencari pasangan hidup yang bergerak di bidang kesehatan, oleh karena itu Dokter dan Bidan ini menikah.
Untuk kita, kriteria bisa banyak. Saya pribadi bukan tipe orang yang ingin berkarier sejalan dengan pasangan hidup saya. Asal masing-masing bisa menghargai, it doesn’t matter for me. Justru saya akan merasa mudah bosan jika selalu beraktivitas bersama (maklum sanguinis) hehe.
4. Bagi peran
Menurut saya pribadi, membagi peran antara suami dan istri dalam rumah tangga adalah hal yang penting. Setidaknya harus disepakati siapa yang jadi nahkoda dan siapa yang menjadi navigatornya. Siapa yang lebih memiliki andil dalam mencari nafkah dan siapa yang lebih banyak mengurus rumah.
Pembagian peran ini tentunya diserahkan pada masing-masing pasangan. Ada yang suami-istri bekerja saling menopang kebutuhan financial. Ada yang memililh istri jadi full housewife dan suami bekerja. Ada yang keduanya berbisnis. Bergantung pada pandangan hidup masing-masing.
Setelah saya selami beberapa poin di atas, I try to relate with all that.
Tahap pertama yang harus saya lakukan adalah cleansing, pembersihan diri dari trauma masa lalu. Wipe the trauma out and get clean from bad inferiority. Mungkin harus berdamai dengan waktu dan berkata, “Dear me, hei, it’s okay that you have been through a lot in your life. I forgive you. I’m glad that I experience a bad past, for it making me who I am today. Stronger. Wiser”.
Dan untuk yang menorehkan luka di hati saya, “Hei, the storm is over. Whatever you do, our life is different now. Allah loves me, and maybe you are better than I am for Allah always seem making your financial life better than me. I’m glad we separated, I proud that I am a better me now. We are just, simply not connected and someone great will come to my love life soon”.
Untuk saya yang tak mampu memimpin langkah saya sendiri untuk terus berada di jalan yang benar, maafkan aku Ya Allah. I wish I never went wrong. But If I don’t, I doubt that I could be more mature.
So thank you Ya Allah, for letting me tasted the good and the bad. For me clearly see now, which one is right, which one is wrong. For me now, to feel that the greatest peace is when I’m with You Ya Rabb. Be with You,The Most Merciful, is the most beautiful feeling I ever have.
Saya juga mencoba ingat-ingat, dulu sewaktu SMA, saya berniat untuk menikah setelah lulus SMA. Dengan alasan, sudah capek tinggal bersama orang tua dan mendengar celotehan orang tua saya setiap hari. Namun tidak ada juga yang melamar.
Saat kuliah, sempat ada trend nikah muda. Siapa yang menikah lebih dulu lebih keren. Tentunya saya tidak ingin melewatkan ajang ini, namun dari sekian banyak yang melamar, tidak ada yang sampai ke pelaminan. Miris. Gagal menang lomba ‘pamer’.
Terakhir, hasrat ingin menikah muncul karena mempercayai bahwa seseorang itu adalah jodoh saya, melebihi takdir Allah malah. Ceritanya sudah berikhtiar, dengan jalan yang salah pula. Dan, kandas di tengah jalan.
Ternyata niat menikah saya, masih belum pure karena Allah. Namun karena keinginan-keinginan manusiawi. Alhamdulillah saya tidak terjebak dalam salah satu motif pernikahan tersebut, kalau tidak, mungkin sekarang saya sudah nangis di pojokan karena berkeluarga tanpa siap mental.
Dan oleh karena itu saya bersyukur, ketika semakin hari saya semakin logis dan mampu mengenali diri saya lebih dalam, ketika saya berkata, “Ya Allah, saya mah gimana Allah saja. Mau nikah atau engga, yang penting saya menjadi hamba-Mu yang beriman”.
And the bell finally ringing..
When the bell actually ‘ringing’, you’ll get surprised..
Tentu saja, ketika menuliskan ini, saya masih saya yang egois, suka bangun siang, baru bisa beberapa resep makanan, malas bersih-bersih dan inferior. Kemudian pertanyaan itu muncul,
“Layakkah saya dengan kualitas seperti ini, diperjuangkan oleh seorang pria?”.
🙂
I know what to do,
What about you?