“Kamu lulusan ITB? Ko jadi Ibu Rumah Tangga?”,
“Ngga sayang ilmunya?”,
“Ngga kerja?”,
“Ngga kasian sama orang tua kamu yang udah nyekolahin tinggi-tinggi?”,
“Ngga bosen di rumah terus?”,
“Trus ngga punya penghasilan dong. Ngga malu minta duit mulu sama suami?”,
“Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya dan anak-anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka”,
[HR. Bukhari Muslim]
Di era ini saya merasa support bagi seorang wanita untuk memilih menjadi Ibu Rumah Tangga atau istilah kerennya stay at home mom sudah sangat besar. Mulai dari artikel-artikel berjudul ‘Ibu Pulanglah’ dari ustadz Budi Ashari yang menekankan bahwa seorang Ibu sebaiknya kembali ke rumah dan melaksanakan kewajiban utamanya yaitu mengurus anak, suami dan rumah karena pahalanya banyak sekali.
Literatur psikologi mengenai pentingnya peranan orang tua di masa golden age juga mulai marak. Dan usia 0-3 tahun, adalah masa dimana orang tua harus membangun bonding yang kuat dengan anak, sebelum anak memasuki usia sekolah dan merasa lebih senang bermain dengan teman-temannya.
Rumah, baik definisinya bangunan atau person (keluarga) harus menjadi tempat ternyaman bagi anak.
The source is everywhere.
Kalau di Swedia, -seperti yang disampaikan oleh teman saya Iie yang tinggal disana-, orang tua yang bekerja, iya kedua belah pihak, bapak dan ibunya diberikan parental leave oleh pemerintah. Parental leave adalah cuti berbayar (kurang lebih 80% dari salary) untuk kedua orang tua selama 480 hari per anak yang dapat diambil sampai anak berusia 8 tahun.
Baca selengkapnya di : https://sundariekowati.wordpress.com/2016/06/29/ngobrol-sama-iie-dari-mulai-melahirkan-ramadan-dan-kuliah-di-swedia/
Nah di Indonesia aturannya belum seperti ini 🙂 cuti melahirkan untuk ibu bekerja adalah 3 bulan. Ada sih programnya pak Anies Baswedan (calon gubernur DKI) yang mengusulkan cuti melahirkan bagi bapak bekerja selama 1 minggu (ya lumayan hehe).
Hidup dalam masyarakat majemuk membuat kita harus siap menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar mengapa lulusan perguruan tinggi seperti saya dan ibu-ibu lainnya yang memilih menjadi stay at home mom. *Pun sebaliknya bagi Ibu bekerja, pasti ada aja yang bertanya “Ko kerja? Ngga sedih ninggalin anak? Ngga takut anaknya lebih deket sama yang ngasuh”, dsb.
Faktor Penyebab Ibu Memilih Jadi IRT?
Kalau ngomongin faktor, variabelnya banyak ya, antara lain :
1. Ikut suami.
Bisa jadi seoang Ibu menjadi IRT karena ikut suami (baik suaminya bekerja/kuliah lagi) dan di tempat tersebut kurang kondusif jika kedua orang tua bekerja. Ada yang suaminya pindah-pindah tempat dinas (dan keluarga diboyong) ke berbagai daerah di Indonesia/belahan dunia lainnya. Ada juga yang nemenin suami kuliah lagi, contohnya seperti teman saya yang tinggal di Timur Tengah, Eropa, Amerika, dan lainnya. Bukannya ngga mungkin istri ikut bekerja/bisnis, tapi keduanya sudah membuat kesepakatan dan prioritas.
2. Pengalaman masa kecil
Nggak sedikit dari kita yang pernah diasuh oleh orang lain sedari kecil karena kedua orang tua kita sibuk bekerja. Dan kita merasa betapa nggak enaknya diasuh sama orang lain sedangkan kita butuh banget perhatian dari ortu kita. Pengalaman dan kerinduan inilah yang akhirnya membuat kita memutuskan untuk membesarkan anak kita sendiri. Karena kita nggak tega kalau anak kita mengalami hal yang sama dengan kita saat kecil.
3. Distrust
Ibu yang perfeksionis cenderung nggak percayaan sama orang lain. Khawatir orang lain akan kurang telaten dalam merawat anak kita. Takut pola pendidikan dan asuhannya beda. Sebagai ibu yang melahirkan anak, kita merasa lebih tahu dan kekinian soal pengasuhan anak, kesehatan anak, gizi anak termasuk update tentang metode mpasi yang beragam.
4. What we read & our environment
Apa yang kita baca juga mempengaruhi pola pikir kita. Sama hal-nya dengan lingkungan. Kalau kita sering hang out dengan para ibu yang pro-stay at home mom, sedikit banyak kita akan termotivasi jadi IRT. Buku, literatur di ineternet, seminar yang kita kunjungi juga akan mempengaruhi pola pikir dan our belief. Contohnya saya, karena saya suka baca buku agama, bergaul dengan teman-teman senasib seperjuangan sesama IRT, dengerin ceramah dan segala hal tentang parenting jadi pondasi saya cukup mantap untuk jadi IRT. Meski pilihan ini dilematis banget, kadang bikin galau kalau udah dibanding-bandingin sama Ibu bekerja yang kece, atau saat dipandang sebelah mata.
5. Dukungan suami & keluarga besar
Ada lho temen saya yang malahan, keluarga besarnya juga suaminya sangat bahagia karena dia memutuskan untuk mengurus anaknya sendiri. Because they think its the best. Unik sekali, patut disyukuri. Support keluarga adalah faktor penting yang membuat kita bersemangat jadi IRT.
And many more, mungkin ibu-ibu pembaca yang lain mau menambahkan? 🙂
Saya pribadi kalau dapat pertanyaan-pertanyaan yang saya sebutkan di paling atas, masih suka baper, masih suka berkilah, antara nggak mau yang bertanya salah kaprah juga mau menjaga perasaan semua orang 🙂
Kamu lulusan ITB? Ko ngga kerja?
Hm, silakan lebih kaget lagi. Bukan hanya saya lho, lulusan PTN yang memilih jadi IRT. Teman-teman saya yang sudah lulus S2, bahkan yang lulusan master dari luar negeri pun ada yang memutuskan jadi IRT. Simply because they think the time with their kids is priceless.
Sampai ada teman yang menulis gini, “I’m glad to gave up my career to raise someone as cute as you”, disertai foto anaknya.
Ngga sayang ilmunya?
Sayang.. Sayang dong kalau ilmu yang sudah saya pelajari ngga diaplikasikan dalam mengasuh anak saya. Dengan menjadi IRT bukan berarti saya ngga bisa berbagi ilmu yang sudah saya pelajari kan?
Justru saya pergunakan semua ilmu yang saya kenyam selama dua puluhan tahun ini untuk mendidik dan membesarkan anak saya. Baik ilmu matematika, agama, tata krama, ilmu masak, beladiri, keterampilan berbahasa, musik, tari, managemen emosi dan lainnya. Saya terapkan di keluarga kecil yang sedang saya bangun bersama-sama dengan suami. Saya masih belajar jadi pendidik yang baik bagi anak saya, doakan terus yaa :’)
Sebuah peradaban berasal dari kumpulan masyarakat. Masyarakat berasal dari kumpulan keluarga. Jika individu-individu dalam keluarga terdidik dengan baik, maka satu keluarga ini akan menjadi keluarga yang baik. Jika tiap keluarga baik berkumpul, maka munculah masyarakat yang baik. Dan masyarakat yang baik akan menghasilkan sebuah peradaban yang baik.
Semuanya berawal dari keluarga, seperti kata mother theresa,
“If you want to change the world, go home and love your family”.
Ngga kasihan sama orang tua yang udah sekolahin tinggi-tinggi?
*brb bawa tissue
Just to clear the air, saya bukannya ngga pernah bekerja. Saya pernah bekerja for almost 2 years di DIKTI (iya saya cuma tenaga honorer kok). Tapi saya pulang hampir tiap weekend to my family sampai-sampai bos saya bilang, ‘kamu masih ngempeng ya sama ibu kamu? kok ke Bandung terus kalau jum’at sore?’, padahal saya sudah besar. Ngapain? Ya memaksimalkan birrul walidain (selama masih bisa) dan jalan-jalan sama adik.
Bukannya ngga mencoba, saya juga pernah kerja proyekan di Bappeda (yang ini juga hanya 2 bulan), ngelamar lagi buat next term tapi ngga dipanggil (yaa sudahlah, Allah memang lebih ingin saya di rumah). Paling ngenes kalau ada rapat sampai malam, pulang-pulang Aisya udah bobo pules, huhuhu.. Rasa bersalahnya sampai ubun-ubun. Rada kesel gimanaaa gitu kok ya hari itu saya ngga main sama Aisya. Belum lagi tangisan Aisya setiap pagi saat saya menitipkannya di day care terbayang-bayang di kantor. Jadinya pas jam istirahat makan siang selalu saya nanti, untuk pump-ing dan ngebut ke day care dianter suami, untuk mengantarkan ASI sambil melepas kangen sama Aisya. Nyampe kantor biasanya telat seperapat jam, itu juga belum makan siang, dan udah harus meeting lagi. Jadi aja sambil bikin notulensi di rapat saya ngemil mulu 😀
Di masa-masa ini kerasa banget deh sama saya gimana perjuangan ibu-ibu pemerah ASI. Super! *pas kerja ASI saya sempet seret, dan Aisya ngga suka susu formula
And waaay before I graduated, sambil kuliah saya juga bekerja kok, saya jadi penyiar radio di radio Antassalam selama setahun sebelum lulus, saya juga suka nyambi jualan, saya suka nge-MC dari mulai event-event internasional seperti konfrensi, seminar, acara kemuslimahan, talkshow, muktamar, sampai MC pernikahan saya jabanin. Karena saya suka. Itu keahlian saya 😀
Ngajar juga pernah kok, pas baru lulus banget. Jadi pilihan yang saya buat sekarang, bukan atas dasar saya mentah-mentah emang blom pernah merasakan dunia bekerja. Hanya saja fokus saya saat ini adalah menjadi supporter suami dan menekuni bidang baru : mendidik, mengasuh, mengurus anak dan rumah tangga. Mengasah skill kerumahtangaan yang sebelumnya tertunda.
My husband is really busy, sering dinas keluar kota. Bayangkan jika saya bekerja dan sibuk juga, waktu yang saya alokasikan untuk pekerjaan tidak akan berbanding lurus dengan kesempatan saya belajar jadi ibu yang baik (dan sabar) untuk anak saya.
Regret is something that I can’t live with.
Mungkin kasihan bukan kata yang tepat ya. Hm, gimana ya.. Bakti sama orang tua itu ngga melulu soal money sebenarnya. Off course we all love money and who doesnt feel happy to be given money by their children. Ya doakan saya yaa agar tetap bisa memberikan bakti terbaik bagi orang tua saya.
One thing I can tell you, dari semua hal yang pernah saya berikan pada ortu saya, saya baru kali ini melihat mereka sangat bahagia, bahagia yang ngga ternilai harganya, bahagia yang membuat lelah mereka lenyap segera, bahagia yang membuat mereka selalu merindu, bahagia saat bertemu Aisya, sang cucu.
Satu lagi deh saya tambahkan, buat yang masih jadi high-quality-jomblo mending maksimalkan bakti kita sama orang tua dulu sebelum kita menikah. Buat kita-kita yang sudah menikah juga terus berupaya jadi anak soleh, doakan kebaikan untuk ortu kita, berikan yang terbaik yang kita bisa, apa aja 🙂
Ngga kerja?
Oh saya kerja! Lha nyuci baju, ngejemur, nyetrika, bersih-bersihin sayuran dan daging, ikan, cumi, udang yang dibeli di mang sayur, rawis-rawis, ngupasin bawang merah + bawang putih, ngeblender bumbu, masak, ngegoreng, baking, cuci piring, nyapu, ngepel, nge-lap kompor, bersihin kaca dan meja dari debu. Itu namanya bukan kerja? Itu kerjaan. Fisik lagi kerjanya.
Belum urusan anak, dari mulai mandiin, ngajak dia makan, nemenin main, ngajarin nyanyi, ngaji, nari, bacain buku, ngelonin kalau mau bobo, ngegendong-gendong kalau lagi rewel. Melatih toilet training, menjaga emosi saat anak lagi tantrum sampai ikutan tantrum juga kalau kurang sabar 😀
Ini pekerjaan yang menguras tenaga dan pikiran lho, makannya jangan salah kalau emak-emak butuh istirahat. Kalau ngga percaya coba deh seharian ngurus anak dan rumah dengan tenang, santai, tanpa terbawa emosi. Yang sabar yaa… Ahaha..
Ngga bosen di rumah terus?
Tempat teraman dan ternyaman bagi anak adalah di rumah. Mau makan tinggal makan masakan bunda. Mau pipis/pup ada toilet. Mau mainan apa aja bebas, dari ruang tamu, pindah ke kamar, ke kasur, bantuin bunda masak-masakan. Dan baru bunda bereskan saat Aisya tidur.
Kalau baju kotor atau main basah-basahan, bisa langsung ganti dengan baju baru yang wangi habis disetrika mami.
Aisya bisa ngapaiiin aja sesuka hati di rumah. Kalau udah waktunya sekolah toh kita akan keluar rumah setiap hari. Bikin acara seru sama anak di rumah, bikin jadwal hari ini mau ngapain aja, bikin menu yang berbeda tiap hari, nyoba resep baking yang baru, cuddling dan ketawa bareng anak, seru!
Bosen? Oh pertanyaannya suka bosen ngga ya? Yaa kalau bosen saya suka mengajak Aisya ke playground. Weekend juga kami suka jalan-jalan sama ayah Aisya. Masih sering ke Bandung juga sih ganti-ganti suasana.
Bosen banget? Yaudah liburan! Yuk dad, kita cuuss ke bandara.. :))
Trus ngga punya penghasilan dong. Ngga malu minta duit mulu sama suami?
Untuk pertanyaan ini, ada teman saya yang menjawab, “yaa ngga apa-apa dong! Kan mintanya sama suami sendiri. Kalau minta sama suami orang baru malu”.
Hehehe..
Iya, malu kok kalau minta uang mah, makannya saya prefer ditransfer aja ke rekening (berasa bisnis online) :p *justkidding
Untuk menghindari kegamangan, let’s see how Islam see this..
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf”, [QS. Al-Baqarah : 233]
Dan juga berdasarkan hadis riwayat Jabir, “… Bagi mereka (para istri) berhak mendapatkan makanan dan pakaian dengan cara yang patut dari kalian”, [HR. Muslim]
Iya jujur pertanyaan ini menohok, bikin bingung dan krisis diri, kalau udah gini biasanya saya suka membuka-buka lagi buku agama yang membahas soal nafkah istri dalam pernikahan.
“Satu dinar yang kau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kau gunakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan untuk orang miskin, serta satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya di antara semuanya adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu“, [HR. Muslim]
Jadi dalam Islam, konteksnya adalah suami berkewajiban mencari nafkah, kalau istri lebih ke mengurus anak dan rumah tangga. Nah, dalam setiap gaji suami itu ada hak istri. Itu yang harus diberikan pada istri oleh suami. Jadi justru bukan istri harus minta-minta dengan penuh rasa malu sama suami, melainkan suami memang perlu memberikan hak tersebut pada istrinya. Hak itu bakal berat pertanggungjawabannya di akhirat nanti kalau tidak ditunaikan.
This why I find so much peace the more I learn about my deen.
Peace yaa!
Berkarya & Bersosialisasi
Menjadi IRT bukan berarti kita saklek banget harus ada di rumah 24 jam sehari. Sebagai mahluk sosial, kita sebagai IRT juga bisa berkarya atau berinteraksi dengan orang lain. Bisa dengan ikutan komunitas-komunitas yang mother-children-friendly, menulis di blog tentang tempat-tempat rekreasi yang family-friendly, berbagi resep masakan via instagram, silaturahim sama teman-teman (kan silaturahim memperpanjang rezeki) sambil playdate anak-anak, menghadiri majelis ilmu, ikutan kelas merajut, menekuni hobi lama, apa aja deh yang bikin kita happy dan ngasi banyaaakk banget manfaat positif sama diri kita juga orang-orang di sekitar kita.
Last but no least, kita harus menghargai pilihan semua orang because we never really know the story behind it. And try to always put ourselves on someone else shoes.
Bagaimana pun dunia ini membutuhkan para wanita yang bekerja juga untuk mengisi berbagai profesi. Seperti dokter, perawat, bidan, baby sitter, ART, dosen, guru TK-SD-SMP-SMA, guru tahsin, trainer, penulis buku, sutradara, produser musik, koki, womanpreneur, karyawati, pegawai instansi pemerintah, pegawai kantin, penjual pakaian dalam wanita daaaan masih banyak lagi 🙂
Warm hug for all mother on earth 🙂