Malam ini “Kuch Nahi” banget deh. Apaan tuh kuch nahi?
Kuch nahi or kuch nahin is an urdu language that means “nothing”.
Yap, nothing special tonight. Saya hanya membuka laptop dan mengedit 2 postingan lawas karena foto-foto disana mendadak cracked. Suka mengalami yang begini ga Moms? Salah satu cara agar foto yang kita upload ga hilang dari blog adalah memperkecil size-nya. And that’s what I do recently (re-upload and re-size).
Dulu kan saya masih Nge-Blog Dari HP, jadi fotonya itu seadanya banget. Yang ada di HP saya masukkan saja that’s why fotonya besar. Bisa sih diatur tapi karena khawatir bakalan ga simetris saya biarkan saja ‘nga-jeblag’.
Kalau sekarang pakai laptop jadi lebih leluasa menata media 🙂 Alhamdulillah.
Trus ada apa lagi?
Hm, kayaknya malam ini saya mau sedikit refleksi aja, tentang kenapa Ibu-ibu terkadang marah sama anaknya. Saya akan tulis ulang caption panjang dari instagram saya @sundarieko (mangga difollow).
Jujur, saya paliiing happy kalau Aisya main sama teman-teman yang baik. Menurut saya, anak-anak emang bagusnya main sama anak-anak lagi, selain sama ortunya, keluarga dan saudara-saudara. Good friends giving positive vibes. Aisya punya cukup banyak teman sih, ada teman di sekolah, di lingkungan rumah Akung, dan di rumahnya sendiri. Ponakan-ponakan Ayah dan anak-anak teman Mami.
And I prefer Aisya maiiin apa aja daripada main gadget. Gadget jadi pilihan paling kepepet kalau Mami lagi butuh banget waktu untuk diri sendiri, baik buat beresin segala macem kerjaan rumah atau pas lagi ada acara dan harus konsentrasi, atau saat Mami lagi kurang fit (perlu istirahat) sementara Aisya enerjik – menangani kondisi-kondisi spesial lah ya. Kalau Aisya masih bisa bermain mandiri saya lebih bersyukur.
Nah pas lagi ga ada teman otomatis saya memposisikan diri sebagai teman Aisya. Kadang saya bertingkah layaknya anak seusia Aisya. Kadang ya jadi coach, jadi Ibu juga.
Trus yang bikin Mami paling rumek adalah saat lagi banyak kerjaan dan Aisya lagi pengen ditemenin. Biasanya saya kasih jurus youtube tapi kadang ga mempan, Aisya lebih pengen main sama Mami rather than megang gadget. Wah artinya her need to get my attention is bigger ya. Sisi positifnya, Alhamdulillah Aisya termasuk anak yang ga addicted to gadget. Kalau udah gini saya suka bingung. Di saat saya kesulitan menangani perasaan bersalah karena gabisa nemenin anak sementara kerjaan juga ‘manggil-manggil’-nya mulai ga santai, anehnya saya suka jadi emosi. Setelah meluapkannya so pasti saya menyesal. I always asking for her apology after that. Berharap saya memililki manajemen emosi dan waktu yang lebih baik lagi. SO SAD.
BUT THEN AGAIN, seperti pernyataan teman saya yang main ke rumah lusa lalu, “Anak-anak itu PEMAAF BANGET ya, Ndar”. Ah iya banget ini. Hikmahnya, Mami harus banyak-banyak istigfar dan memperbaiki hubungan dengan Allah.
Caption ini ditulis setelah saya berdamai sama diri sendiri after I mad to Aisya which, like other mothers, saya menyesalinya.
“Kenapa harus marah sih, Bun?”
“Emang ga ada cara yang lebih ahsan ya buat menyalurkan emosi?”
Ini adalah beberapa pertanyaan yang suka saya tanyakan sama diri sendiri.
Oh come on, harus bereskan file diri ini mah.
Kadang suka takut juga sih, ketika saya marah, momen itu akan masuk ke alam bawah sadar Aisya dan bikin dia either trauma atau mengulangi what I did when she grow up.
Let’s wish not. Amiiin.
Saya selalu meminta maaf setiap habis ngambek sama Aisya.
Saya bahas deh, “Aisya ga suka ya kalau Mami marah?”,
“Muka Mami jelek ya pas marah?”,
“Aisya mau maafin Mami ga?”,
“Aisya tau ga kenapa Mami marah?”,
“Kalau Mami marah lagi, Aisya bilang ‘Mami senyum dong, Mami sabar’, gitu ya”,
Nah, ketika Aisya bilang, “Mami senyum dong”, saat saya lagi manyun, biasanya langsung bikin saya tertawa lho dan bikin emosi mereda. Akhirnya ya kagum aja sama cara Aisya ‘memadamkan’ saya.
Tapi saya kalau marah bentar ko. Kaya meluap gitu tapi terus HUP! dan bisa switch ke Mami mode baik lagi. Sayangnya Aisya udah keburu takut jadi menghindar.
Kadang ketika saya minta maaf dan minta peluk, Aisya mau dan dia juga cepat ceria lagi (mood-nya membaik). Tapi ada kalanya Aisya nangis sampai bilang, “Aisya takut kalau Mami marah”.
Uh, JLEB!
Tapiii tapi ya, nyadar ga sih Mom, kalau Ibu-ibu marah itu biasanya disebabkan oleh faktor luar. Bukan dari dalam kitanya.
Bisa jadi sikap asli kita sehari-hari sama anak itu lembut, fun, easy going, baik hati, bijak sama anak. Tapi ada kondisi tertentu yang bikin kita tiba-tiba berubah jadi ‘monster’.
Soalnya, beberapa teman dekat saya (yang udah sahabatan lama nih ya), suka komen,
“Aisya anaknya happy banget ya – ceria, energik, supel – looks very happy lah”,
“Kayaknya Aisya ga pernah dimarahi ya sama kamu”,
“Kamu sabar banget ya, kayaknya ga pernah marah sama Aisya”
Mendengar orang-orang yang kenal dekat sama saya ngomong gini, seringkali bikin saya merenung dan gatal pingin confess sih sebetulnya kalau saya kadang marah juga kok sama Aisya. And I’m still finding a way to overcome it.
But then I think, perkataan mereka adalah do’a. Mereka mendo’akan saya agar jadi Ibu yang lebih baik, in this case ga suka marah-marah sama anak lagi (Amiin).
And I also think that every mother have a chance to choose to not angry with their kids.
Jika saja support system sekeliling Ibu seperti pasangan, keluarga besar, lingkungan sosial mendukung agar Ibu tidak marah, insya Allah Sang Ibu tidak akan menjadikan marah sebagai sarana komunikasi terhadap anak.
This days, I still see Ibu-ibu yang membentak anaknya di depan umum, atau mempermalukan anaknya dengan menyebutkan kesalahannya.
Bahkan tadi siang, ketika anak saya bermain dengan salah seorang temannya, Ibu teman Aisya ini nitip pada saya, “Bunda Aisya, kalau anak saya nakal mah marahin aja ya”.
Wah, I won’t do that.
In my shoes, saya ga akan tega kalau anak saya dimarahi orang lain.
Different values I guess.
Barangkali di keluarga dan lingkungannya hal-hal yang saya sebutkan di atas itu sudah lumrah.
Di sisi lain saya mengenal salah satu tetangga yang suami dan keluarganya justru sangat anti-marah pada anak.
“Suami saya tidak pernah marah sama anak saya. Papah dan Mamah mertua juga gitu ke anak-anaknya termasuk ke suami saya, ga suka marah. Mereka bilang, kasihan anak masih kecil jangan dimarahi”, cerita beliau pada saya.
“Kalau ketahuan saya marahin anak saya, wah saya yang dimarahi mereka”, begitu lanjutnya.
Disini saya bersyukur melihat support sistem di keluarganya sudah bagus ya. Dengan begini, Ibunya bisa lebih santai dan sabar menanggapi tingkah polah anaknya 🙂
Beda sama kondisi Ibu yang actually she is good tapi lingkungan sekitarnya yang temperamen. Bakal lebih berat effortnya untuk menjadi gunung es yang dingin di antara merapi yang siap meletus.
Back again, every mother have their own battle.
Bapak saya pernah memberi wejangan, “Ketika orang yang emosional berhasil menahan amarahnya, dia bakal mendapatkan pahala yang lebih besar dari Allah ketimbang orang yang tidak emosional. Kan proses melawan nafsu-nya lebih berat”.
Maklum, wanita bergolongan darah B katanya kan emosional yaa. Katanya sih, ga bisa digeneralisir sih.
And then what else?
OK, I will continue by breaking down, apa aja sih yang bisa menyulut emosi Ibu.
Apa Aja Sih Yang Bikin Ibu Lebih Emosian?
1. Tertekan
Saat seorang Ibu merasa tertekan dan menyimpannya dalam-dalam, suatu saat tekanan tersebut akan meledak. Orang terdekat bisa kena imbasnya, seperti suami or worse anak.
Kenapa anak bisa jadi sasaran empuk? karena mereka looks more fragile. Suami/orang dewasa lainnya bisa saja memberi bantahan, pembenaran, perlawanan atau sikap apa pun yang mereka tunjukkan yang membuat kita sebagai perempuan merasa tetap tertekan.
Sedangkan anak cenderung mendengarkan ocehah kita, and they can’t do anything about it. Sehingga secara sadar maupun tidak, kita merasa lebih aman untuk burst all the emotion out.
Memang apa sih yang bikin seorang Ibu tertekan?
Banyak ya! Bisa jadi datang dari keluarga, atau omongan tetangga yang terlalu dimasukkan ke dalam hati. Mungkin stress dari kantor yang dibawa pulang dan lain-lain.
PR kita selanjutnya, adalah mencari solusi sebelum tekanan ini menumpuk dan merembet ke hal lainnya.
2. Dikejar Deadline
Bukan hanya deadline pekerjaan di kantor, di rumah pun ada banyak deadline. Misal pada satu hari tersebut kita harus menyelesaikan setrikaan yang sudah menumpuk karena hari-hari sebelumnya kita sibuk pindahan, mencuci piring-piring kotor, memasak, membereskan mainan yang berserakan serta menyapu dan mengepel rumah, tapi di waktu yang sama anak kita rewel. Sedangkan sore hari saudara-saudara mau main ke rumah dan kita ingin rumah kita bersih, nyaman, rapi ketika mereka datang.
Supaya kita terhindar dari uring-uringan dan ikut tantrum saat anak tantrum, ada baiknya kita mengkomunikasikan pada pasangan kalau kita membutuhkan bantuannya. Atau mengantar anak kita bermain di rumah tetangga dulu barang 1 jam – 2 jam sementara kita ngebut menyelesaikan pekerjaan di rumah.
Kita juga bisa meminta pengertian dari saudara kita kalau saat itu kondisi rumah sedang tidak ideal. Dan memilih untuk memesan makanan dari luar ketimbang menambah pekerjaan dengan memasak besar sendirian.
Kita adalah mahluk sosial, so its okey lah jika sekali-kali meminta bantuan dan pengertian orang lain. I believe, para Ibu lain juga pernah ada di posisi seperti ini.
3. Ghost-Of-Parenting
Yang ketiga ini adalah bawaan dari masa kecil kita. Kadang bagaimana orang tua bersikap pada kita dulu masih membekas dan suka keluar tiba-tiba saat kita menghadapi situasi yang sama.
As we all know, orang tua jaman baheula dan orang tua jaman now memiliki trend yang berbeda. Dari hasil ngobrol-ngobrol sama tetangga, banyak yang bilang kalau orang tua mereka itu ya disiplin, galak (tegas), sebagai anak kita takut dan nurut sama orang tua. Orang tua mostly selalu benar.
Saya perhatikan, orang tua jaman now lebih concern sama psikologi anaknya. Kita belajar bagaimana harus bersikap pada anak, belajar memahami karakter dan apa yang ia rasa, lebih banyak melibatkan mereka dalam diskusi. Lebih mementingkan perasaan anak dengan harapan anak kita bisa grow up better than us.
“Dulu orang tua saya bilang, ‘Kamu sekolah disini saja ya’, iya saya nurut”, ucap seorang teman.
“Sekarang, waaah mau nyekolahin anak saya saja, saya harus keliling Bandung. Ikut trial class-nya dulu, lihat respon anak saya, dia tertarik ga sekolah disitu. Kalau ga, kami cari lagi sekolah yang lain. Sampai dapat yang sesuai sama dia. Ga bisa dipaksa”, lanjut beliau.
“Trus, kids jaman now itu ngeyel kalau dikasih tau. Jaman dulu, mana ada kita njawab kalau orang tua kita bicara”, kata teman yang lain.
Hihi, iya sih beberapa hal dan metode yang baheula-baheula memang sudah tidak relevan ya lagi sekarang. We have to stay update lah.
Trus kalau kita masih kebawa-bawa sama pola asuh orang tua kita yang dulu gimana dong? saran saya sih coba beri jarak antara kita dan orang tua. Misalmya, memilih tempat tinggal yang tidak terlalu dekat, bergaul dengan orang-orang dan lingkungan yang positif dan mengajak diri kita sadar untuk hidup in present time.
Juga mau merubah diri ke arah yang lebih baik dan kekinian. Mungkin tetap mempertahankan nilai-nilai dan ajaran yang bagus namun dengan cara yang lebih pas untuk anak-anak kita.
4. Jenuh/Penat
Rutinitas sehari-hari yang gitu-gitu aja kadang menimbulkan rasa jenuh. Supaya kepenatan ini ga bikin mood kita jelek dan dikit-dikit emosian ada baiknya kita break sejenak dari kesibukan kita.
Refreshing deh Moms, traveling sama keluarga ke tempat-tempat yang seru. Saya dan keluarga suka traveling minimal setahun sekali, lumayan semingguan gitu bisa bebas dari deadline di rumah, hihi. Untuk cerita traveling kami bisa klik link ini ya Traveling Keluarga
Atau do a me time. Ga harus jauh dan mewah sih, bisa jadi me time di salon, baca buku, nulis, nonton film, datang ke pengajian, yaa doing things that recharge our energy aja.
5. PMS
Saat PMS (pas mau datang bulan), acapkali saya merasa lebih mudah emosi. Ibu-ibu gini juga ga?
Awalnya saya pikir ini mitos karena ketika masih gadis when my period come ya biasa aja. Paling sakit perut tapi ga bikin saya mudah marah.
Sekarang anehnya iya. Nah disini nih saya harus ingat-ingat wejangan Bapak saya buat pintar-pintar menahan emosi 🙂
OK, saya rasa sekian dulu deh refleksi saya malam ini. Ini saya menulis sekalian mengingatkan diri saya kembali. Biasanya kalau sudah nulis suka lebih malu kalau mengulangi kesalahan.
Oia, kalau Bunda-bunda yang lain mau menambahkan faktor pemicunya, silakan yaa. I’ll be glad to receive your comments 🙂
After all, menurut saya kita juga harus take part untuk memaafkan diri kita sendiri yang masih terus belajar dan cepat move on. Seperti anak-anak kita yang easy to forgive and easy to forget.
Thank you for stoping by. Sama-sama saling mendoakan ya Bunda, semoga kita bisa jadi Ibu yang ga emosian. And our bond to our children get stronger day by day. Amiin.
“Laa taghdob, wa lakal jannah”
“Jangan marah, maka bagimu surga”
[HR. Thabrani]