Berkomunikasi Dengan Anak

Screenshot (113)

Akhir minggu ini kami memutuskan untuk mengajak Aisya ke bioskop. Film kartun yang kami pilih berjudul Small Foot. Alur ceritanya sederhana dan mudah dipahami anak-anak.

Konflik utamanya adalah miss-persepsi. Para yeti menganggap “small foot” – panggilan untuk manusia – adalah monster. In the other hand, manusia-manusia pun menganggap yeti itu monster

What should we do?” tanya Migo pada seluruh yeti di Himalaya, ia meminta pendapat bagaimana agar kesalahan pahaman ini bisa diluruskan

We have to COMMUNICATE,” jawabnya sendiri. Akhirnya para yeti menuruni gunung, mendekat ke pemukiman manusia. They try to communicate dengan bahasa tubuh bahwa mereka bukan monster dan ingin berteman dengan manusia.

Tentu ceritanya ga se-simpel ini, lebih menarik dan lagu-lagunya enak 🙂 Film yang recommended buat anak-anak. Buat yang pengen nonton selengkapnya, silakan kunjungi bioskop bersama keluarga yaa.

Baca juga : SEPOTONG ES KRIM, TANGISAN & KONSISTENSI

Here I just want to share the highlight.

Komunikasi itu penting, namun kadang tidak mudah dilakukan. Betul banget sih menurut saya, salah satu jalan keluar untuk meluruskan sebuah miss-persepsi adalah dengan berkomunikasi. Untuk bisa berkomunikasi, kita memerlukan hati yang terbuka, telinga yang mau mendengar dan lidah yang bisa ditahan sejenak dari buru-buru mengeluarkan komentar/judgement, also eye contact.

So, who likes communicating? I do!

I communicate a lot with my daughter. Kemarin pagi, kami membahas lagi apa yang diobrolkan semalam. We have a long conversation and its not an easy one. It was very deep even for me.. And that’s just me. I took many minutes to listen, to explain, to calm her rather than ask her to stop talking about what she wants to talk.

Tentu saja kalau sudah kepanjangan waktu diskusinya, dan kami perlu mengerjakan yang lain, saya  akan katakan, “Sudah dulu ya bahas ini, kita lanjutkan lagi nanti,”. Nanti itu bisa besok, bisa nanti malam.

Kadang ketika seorang anak sedang tertarik pada sebuah topik, ia akan terus-menerus bertanya dan membahasnya. Sebagai orang dewasa kadang kita menunjukkan sikap yang kurang proaktif, seperti,

“Kan kita udah bahas ini kemarin, kok dibahas lagi sih?”

“Ini kan sudah pernah dijelaskan, memang belum paham?”

“Kamu kok nanya-nanya terus tentang hal ini? Udah dong, bosen, bahas yang lain yuk?”

Hihi, kadang saya juga suka tergelitik melontarkan kalimat tersebut, namun sebisa mungkin saya tahan. Saya ingin mengerti apa yang ada di kepala anak saya. Cara berpikir orang dewasa dan anak kan berbeda ya.

Buat saya, kalau Aisya masih penasaran akan sesuatu dan dia membahasnya berhari-hari, saya akan ladeni. Saya sadar, saya memiliki kesabaran yang cukup untuk diskusi dengannya, jadi selama masih bisa, saya akan tuntaskan obrolannya sampai ia betul-betul paham.

Pertanyaan Aisya itu kadang ada yang mudah dijawab, tapi kadang ada yang daleeem banget sampai bikin saya mikir, sadar trus nangis sendiri. Seperti pertanyaan yang Aisya tanyakan kemarin-kemarin..

“Mami, nanti kan Aisya bakal tumbuh besar, terus jadi Ibu-ibu seperti Mami. Trus nanti lama-lama Aisya jadi nenek-nenek. Kalau udah jadi nenek-nenek, Aisya bakal meninggal ngga?”

“Mami, surga itu seperti apa? kalau sudah meninggal Aisya bakal masuk surga ngga?”

Dan banyak lagi pertanyaan filosofis yang bikin hati saya bergetar saat menjelaskan. Apakah semua yang meninggal akan masuk surga? Bagaimana caranya agar bisa masuk surga? Surga itu seperti apa? Gimana supaya di surga bisa ngumpul lagi sekeluarga?

Oh, I’m in tears. It’s really really deep.

Saya jelaskan berulang-ulang, disesuaikan dengan usia Aisya. Saya katakan, kalau selama hidup kita jadi orang baik, rajin solat,  ngaji, nurut sama orang tua, suka berbagi dengan teman, insya Allah kita akan masuk surga.

Gitu.

Pertanyaan Aisya dan jawaban yang saya beri juga sangat menggugah hati, mengingatkan diri sendiri : harus prepare untuk kehidupan di akhirat nanti..

Baca juga : ANTARA LOMBA, PIALA, KOLABORASI, & CITA-CITA #CAREERDAY

Saya ingin ceritakan satu hal lagi. ini berhubungan dengan miss-persepi dan solusinya masih dengan berkomunikasi.

Di hari libur, saat kami hanya istirahat di rumah saja, Aisya biasa bermain dengan temannya. Nah, hari itu Aisya main di rumah tetangga. Tiba-tiba ia pulang membawa jajanan dan sejumlah uang yang tidak sedikit.

“Aisya jajan pakai uang siapa? tadi kan ngga dikasih uang waktu mau main?” tanya Ayahnya.

“Pakai uang Aisya! Aisya dikasih uang sama teman, terus jajan bareng,” jelas Aisya.

“Masa pakai uang teman jajannya? Ayo kembalikan uangnya ke teman,” ucap Ayahnya.

Aisya bersikeras mengatakan itu uangnya, ia diberi uang oleh temannya dan merasa uang itu miliknya. Saat Ayahnya mulai marah, saya coba ajak Aisya ngobrol.

Let’s hear from her side,” ajak saya. Saya ingin benar-benar tahu kronologi kejadiannya dan memahami cara berpikir Aisya. Setelah dijelaskan dengan tenang tanpa judgement, saya dan Ayahnya jadi lebih paham.

Lalu saya datangi rumah tetangga sambil membawa uang, untuk mengganti uang yang tadi Aisya pakai jajan. We made it clear.

Aisya cerita, saat main di rumah temannya ini, sang teman mengajaknya jajan. Aisya bilang, ia tidak dibekali uang oleh Mami dan temannya ini langsung mengambil dompet dari lemari. Ia mengeluarkan selembar 20.000-an dan memberikannya untuk Aisya. Lalu mereka pergi jajan bersama dengan langkah riang.

Anak-anak kecil ini belum mengerti nominal uang, apakah Rp. 20.000 itu besar atau tidak, apa bedanya dengan Rp. 2000. Bahkan mungkin mereka juga belum tahu kalau yang berwarna biru dan merah itu sangat besar.

Bagi Aisya dan temannya, it’s like sharing, tapi berbaginya bukan makanan melainkan uang. As simple as that. 

Ibu temannya pun mengatakan ia kaget, anaknya mengambil dompet dari lemari. Saat itu Ibunya sedang solat. Biasanya sang anak minta izin dulu, boleh tidak ambil uang di dompetnya. Berhubung Ibunya sedang solat jadi tidak ada orang yang bisa dimintai izin di rumah. Dan karena uang di dalam dompetnya itu adalah uangnya yang terkumpul saat lebaran, jadi teman Aisya merasa fine-fine saja berbagi uang dengan Aisya. She is very generous ya 🙂

Saya meminta maaf pada Ibunya, begitu pun sebaliknya. Tak lupa uang pengganti saya berikan juga. Lalu kami berdua berpesan pada anak-anak kami, lain kali, kalau mau jajan minta izin dulu ya pada Ibu-nya masing-masing.

Rasanya menyenangkan bisa meluruskan miss-persepsi dengan berkomunikasi. Dalam kasus ini saya berkomunikasi dulu dengan anak saya, saya pahami cara ia berpikir agar tidak salah persepsi. Ternyata bisa kan memberitahu anak dengan memahaminya terlebih dahulu.

Baca juga : FITRAH ANAK ITU BAIK

Oia, salah satu efek positif dari komunikasi yang saya lakukan dengan anak, ia pun berkembang jadi anak yang komunikatif.

Saat homevisit, gurunya mengatakan, di sekolah Aisya itu :

  • Berani mengungkapkan pendapatnya (termasuk perasaannya baik pada teman/gurunya). Contohnya, saat ia merasa sedih akibat perbuatan salah seorang temannya, Aisya akan mengakatakannya, “Aku sedih, kalau kamu bicara seperti itu,” misalnya.
  • Suka bertanya untuk hal-hal yang masih ingin digali. Aisya tidak takut ketika memiliki pendapat yang berbeda dari yang lain.
  • Teguh terhadap apa yang ia yakini. Selain itu, Aisya suka mengingatkan jika ada temannya yang berbuat yang tidak baik.

Keberanian mengemukakan pendapat dan rasa percaya dirinya ini bisa jadi lahir dari diskusi yang sering kami lakukan. Aisya bisa mengeluarkan argumentasinya ketika diskusi dengan saya – I’m open to hear her thought

Ketika kita mendengarkannya, otomatis anak merasa dihargai pendapatnya, Ia merasa berharga dan kepercayaan dirinya muncul.

Saya merasa berkomunikasi adalah cara yang baik untuk saling memahami. Dengan berkomunikasi pun sebetulnya kita bisa menghindari kemarahan yang tidak diperlukan. Yes it took longer time, but I prefer this way 🙂 COMMUNICATING ❤

Antara Lomba, Piala, Kolaborasi, & Cita-Cita #CareerDay

 

Seorang psikolog mengatakan, “Di usia dini, sebaiknya anak-anak diperkenalkan pada kolaborasi dan kerjasama. Bukan kompetisi.”

Penting sekali bagi anak-anak untuk menghargai keunikan dirinya dan temannya. Jika dari usia dini hawa kompetisi sudah terasa, maka anak-anak akan berkembang untuk bersaing. Padahal aspek kolaborasi dan kerjasama penting sekali untuk diasah sejak kecil.

Kira-kira begitu yang saya tangkap dari tulisan sang psikolog. Forgive me, saya lupa nama psikolognya, hihi.

Saya lebih senang saat anak saya perform dan bukan berlomba. Saat perfom, baik itu menari, nyanyi, ngaji, dan ditonton banyak orang, otomatis anak perlu belajar untuk berani, percaya diri dan menangani rasa malu/gugupnya.

Soft skill tersebut juga dibutuhkan dalam menjalani hidup ke depannya.

Sama hal-nya dengan lomba, anak-anak perlu menunjukkan soft skill yang baik. Bedanya dinilai, ada pengumuman dan saat pembagian piala, akan ada saja anak yang menangis karena tidak mendapatkannya.

Baca juga : SEPOTONG ES KRIM & TANGISAN

Saya akan ceritakan masa kecil saya sedikit. Dari mulai TK hingga SMA, saya sering ikut lomba. Waktu masih kecil, biasanya nenek/orang tua saya yang mendaftarkan saya ke berbagai lomba, sepert : peragawati, saritilawah, fashion show busana muslim, lomba pencak silat dan mewarnai.

Dari sekian banyak lomba, seringnya saya merasa mudah untuk menang walaupun tidak selalu juara I.

Selain itu, saya juga sering melakukan pertunjukkan, seperti menari balet di Teater Baranangsiang maupun mempertujukan pencak silat bunga dan disaksikan banyak orang.

Entah karena memang suka atau karena sudah sering ikut lomba, saya lanjut ikut lomba-lomba saat SMP dan SMA. Namun saya memilih lomba yang saya kuasai. Seperti story telling dan menyanyi. Selain itu, saya tetap perform, yaitu menari tradisional di berbagai acara.

Saya berkembang menjadi anak yang biasa ditonton oleh publik, I even like it!

Baca juga : 7 KESALAHAN DALAM PENGASUHAN ANAK YANG BISA ORANG TUA PERBAIKI

Uniknya, meskipun saya pernah mengikuti berbagai lomba, saya tidak begitu ingin mengikutikan Aisya ke lomba-lomba. Entahlah, konsep menang kalah yang kadang mengundang tangisan nampaknya saya anggap sebagai hal yang beresiko untuk hati Aisya (dan saya).

Dan karena saya lebih menyukai konsep performing yang memadukan antara keberanian, percaya diri dan kolaborasi.

Aisya sudah pernah perform, ia menari bersama anak-anak lain di Gathering ITBMotherhood dimana anak-anak ini harus belajar kompak, dan mengingat gerakan tariannya.

 

Anak-anak berlatih di depan cermin, its really fun! Teh Inday sangat piawai dalam melatih gerakan, bikin anak nyaman di ruangan dan saat istirahat diselingi dengan permainan-permainan yang membuat mereka semakin akrab.

Hari H, anak-anak semangat sekali menari di atas panggung diiringi lagu “Aku Bisa”. Usai perform, anak-anak ini masuk ke backstage dan masing-masing diberi bingkisan. All happy. Oia videonya bisa dilihat disini ya Aku Bisa “Hari Ibu”

Awalnya saya tertarik, saat guru di sekolah mengatakan akan diadakan Career Day dan anak-anak boleh memakai kostum profesi yang mereka inginkan. Namun ketika gurunya menambahkan bakal ada Lomba Fashion Show, saya langsung deg-deg-an.

“Apa ngga pawai/parade aja, Bu dan ngga dilombakan?” tanya saya. Dan gurunya menjawab, awalnya akan ada parade dulu baru lomba.

Qodarullah, Aisya suka ikut lomba. Tapi lomba yang pernah diikuti hanya skala sekolah dan lingkungan rumah seperti lomba 17-an. Itu juga saya pulang lebih awal tanpa menunggu pengumuman (kabuuur).

Lalu saya tanya pada anak saya, “Jasmine profesinya mau apa? desainer aja ya?” tanya saya, maklum emak hemat pengennya ga beli/sewa kostum. Jadi terpikir memadu-padankan pakaian yang ada di lemari saja.

Koordinator orang tua murid di kelas juga sempat memberi ide, “Jadi traveler aja Jasmine. Nanti bawa kamera pocket dan topi pantai,”. Wah boleh juga nih idenya.

Buuut, Jasmine maunya jadi dokter.

Hmm, berhubung masih istirahat di rumah pasca demam (Jasmine-nya), saya yang tidak bisa bawa motor jauh-jauh minta tolong ke kakeknya untuk membeli jas dokter cilik di Kosambi. Alhamdulillah dapat info dari grup Ibu-ibu ada jas dokter yang harganya sangat terjangkau di Kosambi (lebih murah dari online shop yang kisarannya 100rb-an).

Pas datang, ternyata jas-nya kebesaran. Well, it gives me an idea untuk bikin jas kedodorannya terlihat seperti long blazer. Saya jahit bagian belakang sedikit, melipat bagian lengan yang kepanjangan, membuat lambang palang merah dari kertas lipat kemudian ditempel ke saku dan menyematkan name tag “DOKTER JASMINE” di sisi kanan baju.

Saya pilihkan ia over all berwarna kuning cerah, kerudung bunga-bunga, memakaikan kacamata lucu dan melengkapi tampilannya dengan sepatu kaca plastik yang menyala ketika diinjak.

And she ready to go!

Sebenarnya hari itu Jasmine agak moody, namun sampai sekolah, ketemu teman-teman, ceria lagi deh Alhamdulillah. Teman-teman di sekolah memakai kostum yang lucuuu-lucuuu, gagah, unik, bikin gemeees 🙂

Seusai parade, ada Bapak dan Ibu Polisi yang memberi penyuluhan. Anak laki-laki yang memakai pakaian polisi sontak antusian dan ramai-ramai foto bersama. Terus, datang Ibu Dokter yang membawa peralatan dokter, anak-anak banyak sekali yang bertanya.

 

Nah beres parade dan penyuluhan, lomba fashion show-nya dimulai. Yang pertama lomba adalah anak-anak kober.

Sambil menunggu giliran, saya dekati Jasmine, “Masih mau ikut lomba?” tanya saya. Jasmine mengangguk.

“Kalau gitu, nanti senyum ya pas fashion show. Jangan lupa salam. Tapi yang terpenting Jasmine have fun aja ya sama teman-teman,” pesan saya. Aaah I just want her to enjoy walking in catwalk and play with her friends..

Saat tiba giliran Jasmine, tentunya saya beri support. She seem shy, still smiling but not making any pose or turning around. Salam juga engga sama jurinya padahal bu guru sudah kasih arahan untuk menyalami juri.

ia bilang, “Jasmine malu Mami. Dilihat sama orang-orang yang Jasmine belum kenal. Ibu-ibunya banyak banget tadi,”. Saya katakan tidak apa-apa dan minta ia bermain lagi dengan teman-temannya.

When it comes to playing, feelingnya kembali positif. Di kelasnya hampir semua anak perempuan jadi dokter, hanya ada seorang yang jadi koki. Anak laki-lakinya ada yang jadi polisi, tentara, pilot. So I think, they playing a role, and that’s good. 

Menjelang dzuhur, sudah banyak yang pulang. Jasmine masih asik bermain dengan Liam. Kejar-kejaran, manjat-manjat, naik perosotan, ayunan. Saya biarkan saja. Saya memang tipe Ibu yang senang saat Jasmine bermain dengan bahagia bersama temannya.

Menurut saya, bermain dengan teman yang sebaya itu sehat untuk kebutuhan jiwanya.

Dan tiba-tiba terdengar suara mic. Wah bakal ada pengumuman pemenang nih. Saya kira tidak akan diumumkan hari itu.

Bu guru mengajak siswa kelas yang tersisa, Jasmine dan Liam untuk mendengarkan pengumuman. I told Jasmine, kalau tidak menang gapapa yaa. Untungnya Jasmine sudah hafal theme song Asian Games.

Ia pun bernyanyi, “Kalau menang itu prestasi, kalau kalah jangan frustasi. Kalau menang solidaritas, kalau kalah sportifitas,”.

Saya acungi jempol, baguuus kalau pun kalah kita sportif aja yaa.

Pemenang Kober sudah diumumkan. Ada beberapa kategori dan saya tidak begitu memperhatikan.

Tiba-tiba, “Jasmine. Ayo Jasmine maju ke depan,” ucap MC. Saya, gurunya dan Jasmine beradu pandang. Jasmine yang dipangku oleh gurunya diajak berdiri. Rasanya kami bertiga tidak menyangka kalau Jasmine akan memenangkan kategori Juara Ter-Keren haha.

It’s simply because saya lihat yang lain banyak yang kostumnya lebih oke, kece, totalitas.

Saya ucapakan selamat pada Jasmine dan memeluknya. Jasmine menggengam pialanya dan bertanya, “Kok Jasmine yang menang?”

Gurunya menjawab, “Karena Jasmine tadi berani saat jalan di catwalk dan senyum,”.

Ia menoleh ke saya. Untuk melengkapi jawaban Bu Guru, saya katakan, “Karena hari ini, untuk lomba kali ini, Allah mengizinkan Jasmine yang menang,”.

Hanya itu jawaban yang terlintas di kepala saya.

Kenapa Jasmine yang menang dan bukan temannya yang lain yang kostumnya lebih maksimal? saya tidak tahu. The only thing that I know is that Allah let her win.

“Allah Maha Baik ya Jasmine, yuk kita berterimakasih pada Allah. Alhamdulillah,” ucap saya.

Baca juga : Ayo Membacakan Nyaring

Hikmah lain yang saya petik dari career day ini adalah, kadang saat anak-anak kita bercita-cita jadi apa, namun ketika dewasa cita-cita kita berubah. Saya pribadi memiliki cita-cita yang belum terwujud. Meski begitu saya tetap bahagia akan pilihan saya menjadi IRT,  sambil menulis saat ini.

Dengan semua bekal ‘manggung’ saya, ketika kuliah akhirnya saya tahu mau berkarir di bidang apa. Public Speaking it is! 

Saya sudah mantap menekuni bidang ini. Saya mulai siaran di radio dan menjadi pemandu acara untuk event internasional dan nasional. I enjoy being a Master Of Ceremony. Bahkan sempat apply untuk S2 di bidang Public Relations.

BUT. For now I can’t pursue it 🙂 Kini saya menikmati menghabiskan waktu di rumah, mengasuh anak, dan menulis. But who knows maybe one day I am awake, or set another goal. It’s never too old to reach a dream kan ya.

What I learn from this life is, bakat dan minat itu tidak cukup untuk membuat seseorang meraih impiannya. Harus ada konsistensi dan usaha yang gigih. Put a lot of effort to reach the dreams.

Untuk Jasmine, saya tidak akan mengatur ia harus jadi apa saat dewasa. Saat ini ia ingin jadi dokter, tapi kalau sudah besar Jasmine ingin jadi desainer, saya akan support. Mau jadi pengusaha, saya supportMau jadi apa pun boleh, as long as she passionate about it.

Bahkan saat memilih jadi IRT, kita pun harus passionate menjadi IRT-nya 🙂

Karena saya melihat orang-orang sukses adalah orang yang menekuni apa yang menjadi passionnya. Konsisten mengasah dan membangun dirinya dalam passionnya. Be an expert di passionnya.

Okay, ini aja yang mau saya bagikan di #parentshare kali ini. Kalau Ibu-ibu dulu cita-citanya jadi apa, dan sekarang sudah tercapai belum? silakan sharing di komen yaa.