Akhir minggu ini kami memutuskan untuk mengajak Aisya ke bioskop. Film kartun yang kami pilih berjudul Small Foot. Alur ceritanya sederhana dan mudah dipahami anak-anak.
Konflik utamanya adalah miss-persepsi. Para yeti menganggap “small foot” – panggilan untuk manusia – adalah monster. In the other hand, manusia-manusia pun menganggap yeti itu monster
“What should we do?” tanya Migo pada seluruh yeti di Himalaya, ia meminta pendapat bagaimana agar kesalahan pahaman ini bisa diluruskan
“We have to COMMUNICATE,” jawabnya sendiri. Akhirnya para yeti menuruni gunung, mendekat ke pemukiman manusia. They try to communicate dengan bahasa tubuh bahwa mereka bukan monster dan ingin berteman dengan manusia.
Tentu ceritanya ga se-simpel ini, lebih menarik dan lagu-lagunya enak 🙂 Film yang recommended buat anak-anak. Buat yang pengen nonton selengkapnya, silakan kunjungi bioskop bersama keluarga yaa.
Baca juga : SEPOTONG ES KRIM, TANGISAN & KONSISTENSI
Here I just want to share the highlight.
Komunikasi itu penting, namun kadang tidak mudah dilakukan. Betul banget sih menurut saya, salah satu jalan keluar untuk meluruskan sebuah miss-persepsi adalah dengan berkomunikasi. Untuk bisa berkomunikasi, kita memerlukan hati yang terbuka, telinga yang mau mendengar dan lidah yang bisa ditahan sejenak dari buru-buru mengeluarkan komentar/judgement, also eye contact.
So, who likes communicating? I do!
I communicate a lot with my daughter. Kemarin pagi, kami membahas lagi apa yang diobrolkan semalam. We have a long conversation and its not an easy one. It was very deep even for me.. And that’s just me. I took many minutes to listen, to explain, to calm her rather than ask her to stop talking about what she wants to talk.
Tentu saja kalau sudah kepanjangan waktu diskusinya, dan kami perlu mengerjakan yang lain, saya akan katakan, “Sudah dulu ya bahas ini, kita lanjutkan lagi nanti,”. Nanti itu bisa besok, bisa nanti malam.
Kadang ketika seorang anak sedang tertarik pada sebuah topik, ia akan terus-menerus bertanya dan membahasnya. Sebagai orang dewasa kadang kita menunjukkan sikap yang kurang proaktif, seperti,
“Kan kita udah bahas ini kemarin, kok dibahas lagi sih?”
“Ini kan sudah pernah dijelaskan, memang belum paham?”
“Kamu kok nanya-nanya terus tentang hal ini? Udah dong, bosen, bahas yang lain yuk?”
Hihi, kadang saya juga suka tergelitik melontarkan kalimat tersebut, namun sebisa mungkin saya tahan. Saya ingin mengerti apa yang ada di kepala anak saya. Cara berpikir orang dewasa dan anak kan berbeda ya.
Buat saya, kalau Aisya masih penasaran akan sesuatu dan dia membahasnya berhari-hari, saya akan ladeni. Saya sadar, saya memiliki kesabaran yang cukup untuk diskusi dengannya, jadi selama masih bisa, saya akan tuntaskan obrolannya sampai ia betul-betul paham.
Pertanyaan Aisya itu kadang ada yang mudah dijawab, tapi kadang ada yang daleeem banget sampai bikin saya mikir, sadar trus nangis sendiri. Seperti pertanyaan yang Aisya tanyakan kemarin-kemarin..
“Mami, nanti kan Aisya bakal tumbuh besar, terus jadi Ibu-ibu seperti Mami. Trus nanti lama-lama Aisya jadi nenek-nenek. Kalau udah jadi nenek-nenek, Aisya bakal meninggal ngga?”
“Mami, surga itu seperti apa? kalau sudah meninggal Aisya bakal masuk surga ngga?”
Dan banyak lagi pertanyaan filosofis yang bikin hati saya bergetar saat menjelaskan. Apakah semua yang meninggal akan masuk surga? Bagaimana caranya agar bisa masuk surga? Surga itu seperti apa? Gimana supaya di surga bisa ngumpul lagi sekeluarga?
Oh, I’m in tears. It’s really really deep.
Saya jelaskan berulang-ulang, disesuaikan dengan usia Aisya. Saya katakan, kalau selama hidup kita jadi orang baik, rajin solat, ngaji, nurut sama orang tua, suka berbagi dengan teman, insya Allah kita akan masuk surga.
Gitu.
Pertanyaan Aisya dan jawaban yang saya beri juga sangat menggugah hati, mengingatkan diri sendiri : harus prepare untuk kehidupan di akhirat nanti..
Baca juga : ANTARA LOMBA, PIALA, KOLABORASI, & CITA-CITA #CAREERDAY
Saya ingin ceritakan satu hal lagi. ini berhubungan dengan miss-persepi dan solusinya masih dengan berkomunikasi.
Di hari libur, saat kami hanya istirahat di rumah saja, Aisya biasa bermain dengan temannya. Nah, hari itu Aisya main di rumah tetangga. Tiba-tiba ia pulang membawa jajanan dan sejumlah uang yang tidak sedikit.
“Aisya jajan pakai uang siapa? tadi kan ngga dikasih uang waktu mau main?” tanya Ayahnya.
“Pakai uang Aisya! Aisya dikasih uang sama teman, terus jajan bareng,” jelas Aisya.
“Masa pakai uang teman jajannya? Ayo kembalikan uangnya ke teman,” ucap Ayahnya.
Aisya bersikeras mengatakan itu uangnya, ia diberi uang oleh temannya dan merasa uang itu miliknya. Saat Ayahnya mulai marah, saya coba ajak Aisya ngobrol.
“Let’s hear from her side,” ajak saya. Saya ingin benar-benar tahu kronologi kejadiannya dan memahami cara berpikir Aisya. Setelah dijelaskan dengan tenang tanpa judgement, saya dan Ayahnya jadi lebih paham.
Lalu saya datangi rumah tetangga sambil membawa uang, untuk mengganti uang yang tadi Aisya pakai jajan. We made it clear.
Aisya cerita, saat main di rumah temannya ini, sang teman mengajaknya jajan. Aisya bilang, ia tidak dibekali uang oleh Mami dan temannya ini langsung mengambil dompet dari lemari. Ia mengeluarkan selembar 20.000-an dan memberikannya untuk Aisya. Lalu mereka pergi jajan bersama dengan langkah riang.
Anak-anak kecil ini belum mengerti nominal uang, apakah Rp. 20.000 itu besar atau tidak, apa bedanya dengan Rp. 2000. Bahkan mungkin mereka juga belum tahu kalau yang berwarna biru dan merah itu sangat besar.
Bagi Aisya dan temannya, it’s like sharing, tapi berbaginya bukan makanan melainkan uang. As simple as that.
Ibu temannya pun mengatakan ia kaget, anaknya mengambil dompet dari lemari. Saat itu Ibunya sedang solat. Biasanya sang anak minta izin dulu, boleh tidak ambil uang di dompetnya. Berhubung Ibunya sedang solat jadi tidak ada orang yang bisa dimintai izin di rumah. Dan karena uang di dalam dompetnya itu adalah uangnya yang terkumpul saat lebaran, jadi teman Aisya merasa fine-fine saja berbagi uang dengan Aisya. She is very generous ya 🙂
Saya meminta maaf pada Ibunya, begitu pun sebaliknya. Tak lupa uang pengganti saya berikan juga. Lalu kami berdua berpesan pada anak-anak kami, lain kali, kalau mau jajan minta izin dulu ya pada Ibu-nya masing-masing.
Rasanya menyenangkan bisa meluruskan miss-persepsi dengan berkomunikasi. Dalam kasus ini saya berkomunikasi dulu dengan anak saya, saya pahami cara ia berpikir agar tidak salah persepsi. Ternyata bisa kan memberitahu anak dengan memahaminya terlebih dahulu.
Baca juga : FITRAH ANAK ITU BAIK
Oia, salah satu efek positif dari komunikasi yang saya lakukan dengan anak, ia pun berkembang jadi anak yang komunikatif.
Saat homevisit, gurunya mengatakan, di sekolah Aisya itu :
- Berani mengungkapkan pendapatnya (termasuk perasaannya baik pada teman/gurunya). Contohnya, saat ia merasa sedih akibat perbuatan salah seorang temannya, Aisya akan mengakatakannya, “Aku sedih, kalau kamu bicara seperti itu,” misalnya.
- Suka bertanya untuk hal-hal yang masih ingin digali. Aisya tidak takut ketika memiliki pendapat yang berbeda dari yang lain.
- Teguh terhadap apa yang ia yakini. Selain itu, Aisya suka mengingatkan jika ada temannya yang berbuat yang tidak baik.
Keberanian mengemukakan pendapat dan rasa percaya dirinya ini bisa jadi lahir dari diskusi yang sering kami lakukan. Aisya bisa mengeluarkan argumentasinya ketika diskusi dengan saya – I’m open to hear her thought.
Ketika kita mendengarkannya, otomatis anak merasa dihargai pendapatnya, Ia merasa berharga dan kepercayaan dirinya muncul.
Saya merasa berkomunikasi adalah cara yang baik untuk saling memahami. Dengan berkomunikasi pun sebetulnya kita bisa menghindari kemarahan yang tidak diperlukan. Yes it took longer time, but I prefer this way 🙂 COMMUNICATING ❤