Kamu lulusan ITB? Ko Jadi IRT?

“Kamu lulusan ITB? Ko jadi Ibu Rumah Tangga?”,

“Ngga sayang ilmunya?”,

“Ngga kerja?”,

“Ngga kasian sama orang tua kamu yang udah nyekolahin tinggi-tinggi?”,

“Ngga bosen di rumah terus?”,

“Trus ngga punya penghasilan dong. Ngga malu minta duit mulu sama suami?”,

“Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya dan anak-anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka”, 

[HR. Bukhari Muslim]

Di era ini saya merasa support bagi seorang wanita untuk memilih menjadi Ibu Rumah Tangga atau istilah kerennya stay at home mom sudah sangat besar. Mulai dari artikel-artikel berjudul ‘Ibu Pulanglah’ dari ustadz  Budi Ashari yang menekankan bahwa seorang Ibu sebaiknya kembali ke rumah dan melaksanakan kewajiban utamanya yaitu mengurus anak, suami dan rumah karena pahalanya banyak sekali.
Literatur psikologi mengenai pentingnya peranan orang tua di masa golden age juga mulai marak. Dan usia 0-3 tahun, adalah masa dimana orang tua harus membangun bonding yang kuat dengan anak, sebelum anak memasuki usia sekolah dan merasa lebih senang bermain dengan teman-temannya.

Rumah, baik definisinya bangunan atau person (keluarga) harus menjadi tempat ternyaman bagi anak. 

The source is everywhere.

Kalau di Swedia, -seperti yang disampaikan oleh teman saya Iie yang tinggal disana-, orang tua yang bekerja, iya kedua belah pihak, bapak dan ibunya diberikan parental leave oleh pemerintah. Parental leave adalah cuti berbayar (kurang lebih 80% dari salary) untuk kedua orang tua selama 480 hari per anak yang dapat diambil sampai anak berusia 8 tahun. 

Baca selengkapnya di : https://sundariekowati.wordpress.com/2016/06/29/ngobrol-sama-iie-dari-mulai-melahirkan-ramadan-dan-kuliah-di-swedia/

Nah di Indonesia aturannya belum seperti ini 🙂 cuti melahirkan untuk ibu bekerja adalah 3 bulan. Ada sih programnya pak Anies Baswedan (calon gubernur DKI) yang mengusulkan cuti melahirkan bagi bapak bekerja selama 1 minggu (ya lumayan hehe).

Hidup dalam masyarakat majemuk membuat kita harus siap menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar mengapa lulusan perguruan tinggi seperti saya dan ibu-ibu lainnya yang memilih menjadi stay at home mom. *Pun sebaliknya bagi Ibu bekerja, pasti ada aja yang bertanya “Ko kerja? Ngga sedih ninggalin anak? Ngga takut anaknya lebih deket sama yang ngasuh”, dsb.

Faktor Penyebab Ibu Memilih Jadi IRT?

Kalau ngomongin faktor, variabelnya banyak ya, antara lain :

1. Ikut suami.

Bisa jadi seoang Ibu menjadi IRT karena ikut suami (baik suaminya bekerja/kuliah lagi) dan di tempat tersebut kurang kondusif jika kedua orang tua bekerja. Ada yang suaminya pindah-pindah tempat dinas (dan keluarga diboyong) ke berbagai daerah di Indonesia/belahan dunia lainnya. Ada juga yang nemenin suami kuliah lagi, contohnya seperti teman saya yang tinggal di Timur Tengah, Eropa, Amerika, dan lainnya. Bukannya ngga mungkin istri ikut bekerja/bisnis, tapi keduanya sudah membuat kesepakatan dan prioritas.

2. Pengalaman masa kecil

Nggak sedikit dari kita yang pernah diasuh oleh orang lain sedari kecil karena kedua orang tua kita sibuk bekerja. Dan kita merasa betapa nggak enaknya diasuh sama orang lain sedangkan kita butuh banget perhatian dari ortu kita. Pengalaman dan kerinduan inilah yang akhirnya membuat kita memutuskan untuk membesarkan anak kita sendiri. Karena kita nggak tega kalau anak kita mengalami hal yang sama dengan kita saat kecil.

3. Distrust

Ibu yang perfeksionis cenderung nggak percayaan sama orang lain. Khawatir orang lain akan kurang telaten dalam merawat anak kita. Takut pola pendidikan dan asuhannya beda. Sebagai ibu yang melahirkan anak, kita merasa lebih tahu dan kekinian soal pengasuhan anak, kesehatan anak, gizi anak termasuk update tentang metode mpasi yang beragam.

4. What we read & our environment

Apa yang kita baca juga mempengaruhi pola pikir kita. Sama hal-nya dengan lingkungan. Kalau kita sering hang out dengan para ibu yang pro-stay at home mom, sedikit banyak kita akan termotivasi jadi IRT. Buku, literatur di ineternet, seminar yang kita kunjungi juga akan mempengaruhi pola pikir dan our belief. Contohnya saya, karena saya suka baca buku agama, bergaul dengan teman-teman senasib seperjuangan sesama IRT, dengerin ceramah dan segala hal tentang parenting jadi pondasi saya cukup mantap untuk jadi IRT. Meski pilihan ini dilematis banget, kadang bikin galau kalau udah dibanding-bandingin sama Ibu bekerja yang kece, atau saat dipandang sebelah mata.

5. Dukungan suami & keluarga besar

Ada lho temen saya yang malahan, keluarga besarnya juga suaminya sangat bahagia karena dia memutuskan untuk mengurus anaknya sendiri. Because they think its the best. Unik sekali, patut disyukuri. Support keluarga adalah faktor penting yang membuat kita bersemangat jadi IRT.

And many more, mungkin ibu-ibu pembaca yang lain mau menambahkan? 🙂

Saya pribadi kalau dapat pertanyaan-pertanyaan yang saya sebutkan di paling atas, masih suka baper, masih suka berkilah, antara nggak mau yang bertanya salah kaprah juga mau menjaga perasaan semua orang 🙂

Kamu lulusan ITB? Ko ngga kerja?

Hm, silakan lebih kaget lagi. Bukan hanya saya lho, lulusan PTN yang memilih jadi IRT. Teman-teman saya yang sudah lulus S2, bahkan yang lulusan master dari luar negeri pun ada yang memutuskan jadi IRT. Simply because they think the time with their kids is priceless.

Sampai ada teman yang menulis gini, “I’m glad to gave up my career to raise someone as cute as you”, disertai foto anaknya.

Ngga sayang ilmunya?

Sayang.. Sayang dong kalau ilmu yang sudah saya pelajari ngga diaplikasikan dalam mengasuh anak saya. Dengan menjadi IRT bukan berarti saya ngga bisa berbagi ilmu yang sudah saya pelajari kan?

Justru saya pergunakan semua ilmu yang saya kenyam selama dua puluhan tahun ini untuk mendidik dan membesarkan anak saya. Baik ilmu matematika, agama, tata krama, ilmu masak, beladiri, keterampilan berbahasa, musik, tari, managemen emosi dan lainnya. Saya terapkan di keluarga kecil yang sedang saya bangun bersama-sama dengan suami. Saya masih belajar jadi pendidik yang baik bagi anak saya, doakan terus yaa :’)

Sebuah peradaban berasal dari kumpulan masyarakat. Masyarakat berasal dari kumpulan keluarga. Jika individu-individu dalam keluarga terdidik dengan baik, maka satu keluarga ini akan menjadi keluarga yang baik. Jika tiap keluarga baik berkumpul, maka munculah masyarakat yang baik. Dan masyarakat yang baik akan menghasilkan sebuah peradaban yang baik.

Semuanya berawal dari keluarga, seperti kata mother theresa,

“If you want to change the world, go home and love your family”.

Ngga kasihan sama orang tua yang udah sekolahin tinggi-tinggi?

*brb bawa tissue

Just to clear the air, saya bukannya ngga pernah bekerja. Saya pernah bekerja for almost 2 years di DIKTI (iya saya cuma tenaga honorer kok). Tapi saya pulang hampir tiap weekend to my family sampai-sampai bos saya bilang, ‘kamu masih ngempeng ya sama ibu kamu? kok ke Bandung terus kalau jum’at sore?’, padahal saya sudah besar. Ngapain? Ya memaksimalkan birrul walidain (selama masih bisa) dan jalan-jalan sama adik. 

Bukannya ngga mencoba, saya juga pernah kerja proyekan di Bappeda (yang ini juga hanya 2 bulan), ngelamar lagi buat next term tapi ngga dipanggil (yaa sudahlah, Allah memang lebih ingin saya di rumah). Paling ngenes kalau ada rapat sampai malam, pulang-pulang Aisya udah bobo pules, huhuhu.. Rasa bersalahnya sampai ubun-ubun. Rada kesel gimanaaa gitu kok ya hari itu saya ngga main sama Aisya. Belum lagi tangisan Aisya setiap pagi saat saya menitipkannya di day care terbayang-bayang di kantor. Jadinya pas jam istirahat makan siang selalu saya nanti, untuk pump-ing dan ngebut ke day care dianter suami, untuk mengantarkan ASI sambil melepas kangen sama Aisya. Nyampe kantor biasanya telat seperapat jam, itu juga belum makan siang, dan udah harus meeting lagi. Jadi aja sambil bikin notulensi di rapat saya ngemil mulu 😀 

Di masa-masa ini kerasa banget deh sama saya gimana perjuangan ibu-ibu pemerah ASI. Super! *pas kerja ASI saya sempet seret, dan Aisya ngga suka susu formula

And waaay before I graduated, sambil kuliah saya juga bekerja kok, saya jadi penyiar radio di radio Antassalam selama setahun sebelum lulus, saya juga suka nyambi jualan, saya suka nge-MC dari mulai event-event internasional seperti konfrensi, seminar, acara kemuslimahan, talkshow, muktamar, sampai MC pernikahan saya jabanin. Karena saya suka. Itu keahlian saya 😀

Ngajar juga pernah kok, pas baru lulus banget. Jadi pilihan yang saya buat sekarang, bukan atas dasar saya mentah-mentah emang blom pernah merasakan dunia bekerja. Hanya saja fokus saya saat ini adalah menjadi supporter suami dan menekuni bidang baru : mendidik, mengasuh, mengurus anak dan rumah tangga. Mengasah skill kerumahtangaan yang sebelumnya tertunda.

My husband is really busy, sering dinas keluar kota. Bayangkan jika saya bekerja dan sibuk juga, waktu yang saya alokasikan untuk pekerjaan tidak akan berbanding lurus dengan kesempatan saya belajar jadi ibu yang baik (dan sabar) untuk anak saya.

Regret is something that I can’t live with. 

Mungkin kasihan bukan kata yang tepat ya. Hm, gimana ya.. Bakti sama orang tua itu ngga melulu soal money sebenarnya. Off course we all love money and who doesnt feel happy to be given money by their children. Ya doakan saya yaa agar tetap bisa memberikan bakti terbaik bagi orang tua saya.

One thing I can tell you, dari semua hal yang pernah saya berikan pada ortu saya, saya baru kali ini melihat mereka sangat bahagia, bahagia yang ngga ternilai harganya, bahagia yang membuat lelah mereka lenyap segera, bahagia yang membuat mereka selalu merindu, bahagia saat bertemu Aisya, sang cucu.

Satu lagi deh saya tambahkan, buat yang masih jadi high-quality-jomblo mending maksimalkan bakti kita sama orang tua dulu sebelum kita menikah. Buat kita-kita yang sudah menikah juga terus berupaya jadi anak soleh, doakan kebaikan untuk ortu kita, berikan yang terbaik yang kita bisa, apa aja 🙂

Ngga kerja?

Oh saya kerja! Lha nyuci baju, ngejemur, nyetrika, bersih-bersihin sayuran dan daging, ikan, cumi, udang yang dibeli di mang sayur, rawis-rawis, ngupasin bawang merah + bawang putih, ngeblender bumbu, masak, ngegoreng, baking, cuci piring, nyapu, ngepel, nge-lap kompor, bersihin kaca dan meja dari debu. Itu namanya bukan kerja? Itu kerjaan. Fisik lagi kerjanya.

Belum urusan anak, dari mulai mandiin, ngajak dia makan, nemenin main, ngajarin nyanyi, ngaji, nari, bacain buku, ngelonin kalau mau bobo, ngegendong-gendong kalau lagi rewel. Melatih toilet training, menjaga emosi saat anak lagi tantrum sampai ikutan tantrum juga kalau kurang sabar 😀

Ini pekerjaan yang menguras tenaga dan pikiran lho, makannya jangan salah kalau emak-emak butuh istirahat. Kalau ngga percaya coba deh seharian ngurus anak dan rumah dengan tenang, santai, tanpa terbawa emosi. Yang sabar yaa… Ahaha..

Ngga bosen di rumah terus?

Tempat teraman dan ternyaman bagi anak adalah di rumah. Mau makan tinggal makan masakan bunda. Mau pipis/pup ada toilet. Mau mainan apa aja bebas, dari ruang tamu, pindah ke kamar, ke kasur, bantuin bunda masak-masakan. Dan baru bunda bereskan saat Aisya tidur. 

Kalau baju kotor atau main basah-basahan, bisa langsung ganti dengan baju baru yang wangi habis disetrika mami. 

Aisya bisa ngapaiiin aja sesuka hati di rumah. Kalau udah waktunya sekolah toh kita akan keluar rumah setiap hari. Bikin acara seru sama anak di rumah, bikin jadwal hari ini mau ngapain aja, bikin menu yang berbeda tiap hari, nyoba resep baking yang baru, cuddling dan ketawa bareng anak, seru!

Bosen? Oh pertanyaannya suka bosen ngga ya? Yaa kalau bosen saya suka mengajak Aisya ke playground. Weekend juga kami suka jalan-jalan sama ayah Aisya. Masih sering ke Bandung juga sih ganti-ganti suasana. 

Bosen banget? Yaudah liburan! Yuk dad, kita cuuss ke bandara.. :))

Trus ngga punya penghasilan dong. Ngga malu minta duit mulu sama suami?

Untuk pertanyaan ini, ada teman saya yang menjawab, “yaa ngga apa-apa dong! Kan mintanya sama suami sendiri. Kalau minta sama suami orang baru malu”.

Hehehe..

Iya, malu kok kalau minta uang mah, makannya saya prefer ditransfer aja ke rekening (berasa bisnis online) :p *justkidding 

Untuk menghindari kegamangan, let’s see how Islam see this..

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf”, [QS. Al-Baqarah : 233]

Dan juga berdasarkan hadis riwayat Jabir, “… Bagi mereka (para istri) berhak mendapatkan makanan dan pakaian dengan cara yang patut dari kalian”, [HR. Muslim]

Iya jujur pertanyaan ini menohok, bikin bingung dan krisis diri, kalau udah gini biasanya saya suka membuka-buka lagi buku agama yang membahas soal nafkah istri dalam pernikahan. 

“Satu dinar yang kau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kau gunakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan untuk orang miskin, serta satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya di antara semuanya adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu“, [HR. Muslim]

Jadi dalam Islam, konteksnya adalah suami berkewajiban mencari nafkah, kalau istri lebih ke mengurus anak dan rumah tangga. Nah, dalam setiap gaji suami itu ada hak istri. Itu yang harus diberikan pada istri oleh suami. Jadi justru bukan istri harus minta-minta dengan penuh rasa malu sama suami, melainkan suami memang perlu memberikan hak tersebut pada istrinya. Hak itu bakal berat pertanggungjawabannya di akhirat nanti kalau tidak ditunaikan.

This why I find so much peace the more I learn about my deen.

Peace yaa!

Berkarya & Bersosialisasi

Menjadi IRT bukan berarti kita saklek banget harus ada di rumah 24 jam sehari. Sebagai mahluk sosial, kita sebagai IRT juga bisa berkarya atau berinteraksi dengan orang lain. Bisa dengan ikutan komunitas-komunitas yang mother-children-friendly, menulis di blog tentang tempat-tempat rekreasi yang family-friendly, berbagi resep masakan via instagram, silaturahim sama teman-teman (kan silaturahim memperpanjang rezeki) sambil playdate anak-anak, menghadiri majelis ilmu, ikutan kelas merajut, menekuni hobi lama, apa aja deh yang bikin kita happy dan ngasi banyaaakk banget manfaat positif sama diri kita juga orang-orang di sekitar kita.

Last but no least, kita harus menghargai pilihan semua orang because we never really know the story behind it. And try to always put ourselves on someone else shoes.

Bagaimana pun dunia ini membutuhkan para wanita yang bekerja juga untuk mengisi berbagai profesi. Seperti dokter, perawat, bidan, baby sitter, ART, dosen, guru TK-SD-SMP-SMA, guru tahsin, trainer, penulis buku, sutradara, produser musik, koki, womanpreneur, karyawati, pegawai instansi pemerintah, pegawai kantin, penjual pakaian dalam wanita daaaan masih banyak lagi 🙂

Warm hug for all mother on earth 🙂

31 thoughts on “Kamu lulusan ITB? Ko Jadi IRT?

  1. vhia says:

    sekarng aku juga merakan kegaluan mba, di hatiku juga ingin menjadi IRT yang 24 jam ada bersama anak,
    tapi disisi lain aku juga tw klo orang tua ku menginginkan au kerja n juga punya karir bagus….

    hatiku rasanya berontak ketika, pergi kerja sementara anakku dirumah dengan pengasuh, apalagi saat berangkat kerja anak belum bangun n saat sampe rumah anak sdah tidur..

    gimna y mba2, cara ngejelasin ke ortu klo aku mwnya fokus dulu ngurusin anak n RT, tapi ortu ngk tersinggung n bisa ngerti…!

  2. Ira says:

    Halo ka kaka lulusan itb angkatan berapa? Hehe
    Ka kalo menikah dengan org turki. Tp resepsinya di indonesia, kaka tau gak apa saja yg hrs disiapkan.
    Dan apabila setelah nikah, trs tinggal di turki apa aja yg hrs disiapkan? Makasih kaa :’)

  3. Kartika says:

    Yang penting jadi IRT bukan dengan alasan:
    1. Susah cari kerja
    2. Nggak cocok sama bos, terus resign
    3. Nggak bisa bersaing, sehingga tidak diperpanjang kontrak
    4. Merasa cepat lelah, capek, sebelum memperhatikan pola makan dan pola tidur.. Sehingga stress.
    5. ……
    6. ……
    Banyak alasan negatif yaaa… 💁

    Semoga kita bukan golongan itu..

    Be happy

  4. Kartika says:

    Setuju perempuan mencari ilmu sebanyak2nya setinggi2nya..
    Semua untuk modal akhirat bersama pasangannya..
    Akhirnya jadi IRT, gak ada masalah..
    Masih bisa berbagi..
    Kalo mau pake asisten rumah untuk beres2 rumah asiiik..
    Kalo mau asisten menemani aktifitas anak2 .. Asiiik..
    IRT yang keren bukan?

    IRT adalah direktur operasional di istananya..
    Nggak salah kalo direktur ngepel lantai.. Namanya memberi contoh..

    Susah2 kuliah di ITB.. Harus jadi Sarjana yang happy doong..

    Yuuk kita berkawan….
    Bit.ly/KAMI_ada

  5. sulis says:

    Mbak aku sukaa tulisannya…
    Berasa banyak teman senasib.
    Aku di rumah juga, PTN juga…pernah dapat pertanyaan serupa pula. Dan itu yang sering bikin baper klo di keluarga besar suami…

    Padahal kerjaan rumah kan nggak ada habisnya ya kan. Tapi sebel, sering dianggap sebelah mata..

    • sundariekowati says:

      Iyaa ada semacam ‘tanggungjawab’ sendiri yaa kalau di depan keluarga (baik keluarga pasangan maupun keluarga sendiri), yg bisa kita tunjukkan adalah karya-karya kita dan investasi kita pada anak ya mba 🙂 kalau lagi galau saya suka baca-baca bagaimana Islam memandang hal ini mba, and it helps to strenghten me

  6. sandraartsense says:

    Hai Mba, saya lulusan UPI dan lebih seneng dibilang IRT sih soalnya dibilang stay at home mom banget juga kadang ngajar dan dibilang kerja juga cuma part time tapi insya Allah rezeki fulltime hihi baru lahiran nih engga tau nanti masi ngajar atau ngajar di rumah aja, saya yakin rezeki saya dan anak, Tuhan titip lewat Suami dan saya juga menghargai setiap keputusan Wanita karir karena kita juga gatau ya alasannya kenapa, salam kenal^^

  7. Lia Harahap says:

    Tulisan yang bagus, mbak. Tercerminkan kualitasnya dengan kalimat yang santun dan belandaskan agama.

    Aku suka kalimat ajakan bagian ini:
    “Last but no least, kita harus menghargai pilihan semua orang because we never really know the story behind it. And try to always put ourselves on someone else shoes.”

    So true. Semua orang kayaknya perlu stop ngurusin atau kepo hidup orang lain ya 🙂

    Saya rasa ibu-ibu yang memiliki kecerdasan ilmu dan emosi seperti mbak Insya Allah akan menghasilkan anak-anak yang berkualitas juga.

  8. nur rochma says:

    Pernah ada guru saya yang menyayangkan kalau saya lulusan PTN dan nggak kerja. Tapi itu kembali kepada diri sendiri. Saya bahagia dengan keadaan saya. Itu sudah cukup. Omongan orang kan macam-macam. Yang penting apapun profesi kita, tetap bermanfaat.

    Semangat, mba. Nice sharing!

  9. merida merry says:

    Aku jadi teringat dengan kata-kata almh. Hj. Ainun Habibie yg penggalannya kurang lebih seperti ini.

    … Apalah arti gaji yg tidak seberapa itu bila dibandingkan dengan masa-masa tumbuh kembang anakmu …

    Sampai hari ni aku ga pernah underestimate dg wanita2 sarjana yg memilih utk jd IRT. Justru salut mbak. Karena ada pengorbanan yg sngt besar utk mewujudkan itu.

    Tfs mbak. Nice artikel.

  10. muti mimut says:

    Tulisannya bagus mba, gak menggurui. Menurut saya, apa yang kita tekuni menjadi pilihan dan prioritas karena setiap keluarga memiliki kondisi yang berbeda, gak bisa disamaratakan.
    Saya percaya semakin banyak ilmu yang dipelajari seorang Ibu akan berguna dan bermanfaat bagi anak-anaknya, gak ada kata rugi atau sia-sia dalam menuntut ilmu. Tetap semangat buat buibuk baik yang memilih menjadi stay at home mother maupun bagi yang memiliki pekerjaan kantoran 🙂

  11. Inda chakim says:

    Alhmdlillah, aku udh ngelewatin masa2 ini mbk, gegara milih jd irt. Dan jg smpt gk pd, tp alhmdulillah itu gk lama, krn aku ketemu tmn2 di dunia nyata dan maya (emak2 blogger), lbih bnyaj di dunia maya sih, yg sling dukung tanpa peduli irt atw ibu karir.
    Skrg, aku tgh ngadepin fase yg gk jauh beda dr itu, “Buat apa s2, la wong skrg aja cm jd ibu rumah tangga?”.
    Yaaahhh, namanya jg hidup, pasti ketemu dg pribadi2 yg pro atw kontra sm kita,
    Nice share mbk, 🙂

  12. gita says:

    Love this article😘 dan no more debat ttg ibu bekerja vs stay at home mom..jawabannya ada di quotes ‘always put ourselves on someone else’s shoes’ 😃.. dan kita tahu apa yg terbaik utk hidup kita karena hidup adalah pilihan dengan segala konsekuensi nya😊

  13. Hastira says:

    mau jadi ibu rumah tangga atau bekerja adalah pilihan hdp dan tdk ada yang lebih baik . aku ibu bekerja tapi aku tetep memperhatikan kedua buah hatiku dan mereka dekat dg aku dan sangat mandiri. dan setelah anakku dewasa dan merantau malah aku resign , lucu ya, kini aku menikmati hidup dengan berbagi dg komunitas anak2 yang aku bikin jd aku gak kesepian krn anak2 sdh pergi

  14. Resti says:

    Terharu biru baca postingan blognya mbak. Terutama saat ini lagi hamil tm3. Kondisi sudah resign dr kerjaan saat tau hamil karena jarak dr rumah ke tempat kerja lumayan jauh dan padat. Sempat terpikir buat apa sekolah smpe s2 kalo endingnya jaga rumah juga. Sempat dapat tawaran kerja dg jam kerja fleksibel dan boleh mulai bekerja setelah melahirkan. Awalnya sangat semangat. Tapi saat menjalani dg kehamilan smkin besar, rasanya rasa sayang ke yg didlm perut gbs digantikan dg hal2 yg selama ini saya kejar dan impikan yi karir. Meski mungkin masih ingin sekali berkarir. Entah mba nanti endingnya saya gimana. Utk saat ini saya masih menikmati masa2 kehamilan dg bahagia dlu. Masalah itu liat nanti. It’s okay, if we decide the decision later?

    • sundariekowati says:

      Iya mba paling baik nikmati setiap proses yg dijalani, saat ini nikmati dl kehamilan mba. Stelah melahirkan gmn coba dipikirkan dan diobrolkan mau gmn dg suami dan keluarga krn kalau seorang ibu mau bekerja lagi butuh supporting sistem spy ibu tidak stress nantinya 🙂 semangat yaa mba.

  15. Yeni says:

    Sama bunda. Saya juga memilih menjadi IRT melepaskan karier saya dan menunda mimpi2 saya di luar sana. Semuanya saya lakuin demi anak. Dari tulisan bunda di atas sepertinya saya termasuk tipe ibu yang perfeksionis. Saya tidak percaya anak saya dipegang oleh orang lain, tidak percaya dengan pola asuh mereka, asupan nutrisi untuk anak saya dll. Anak saya harus saya yang pegang. Walaupun awal2 menjadi IRT dan baru pertama kali memiliki baby, memang menjadi fase berat saya. Tetapi allhamdulillah kini sudah banyak berdamai dengan diri sendiri dan semakin bersyukur dengan pilihan saya menjadi IRT. Maaf jadi curcol 😂

    • sundariekowati says:

      Iya Bunda Yeni, harus berdamai dengan diri sendiri yaa 🙂 saya juga cukup prefeksionis Bun, masih belajar sih untuk jadi Ibu yg lebih baik lagi. Makasi lho Bun sudah curhat sama saya hehe, peluuk jauh 🙂

  16. enci harmoni says:

    hmm, setuju banget, saya juga tidak kerja formal, kalo tinggal di daerah apalago mak, beban sarjana yg jadi irt itu besar sekali, sering dipandang kurang berarti 😀

  17. Nurshifa Rosanty says:

    Teeh.. sangat menginspirasi 🙂 shifa tertarik baca blog teteh, banyak pelajaran yg shifa ambil. Walaupun shifa baru aja lulus wisuda, tapi mungkin sebentar lagi akan hidup berumah tangga jdi harus banyak belajar hihi.. makasiih teh.. tetap menginspirasi 🙂

    • sundariekowati says:

      Waaah shifaa undang-undang yaa 🙂 sama yang itu yaa hihihi. Iya teh ai doakan yg terbaik untuk shifa dalam karir dan rumah tangga nanti ya. Terimakasih udah berkunjung ke blog teh Ai.

  18. superanindita says:

    huahahaha tehh maaf ini aku ga sengaja baca2 blog teteh yang banyak ngasih aku pelajaran. Trus jadi ngakak pas baca bagian ini >> Bahkan ada yang S2 di luar negeri trus jadi IRT >> aku abis wkwkkwkwkw

    • sundariekowati says:

      Ditaaa seriusan? Ih seneng deh Dita mampir k blog teteh 😀 iyaa banyak temen2 teteh yg S2 bahkan yg S2-nya juga di USA, Korea atau kaya Dita di Jepang dan akhirnya memilih mengurus anak sendiri.. Karena yaa simply ingin memberikan yg terbaik bagi anaknya. Ibu2 ini suka bikin teteh mangap2 takjub gitu 🙂

  19. tettyhermawati says:

    wowww terharu bacanya, dulu aq sempet krisis pede juga, tp skrg udh gak lagi, karena emg bener mind set kita yg harus diubah.

    kita kan ga bisa mengiyakan semua pendapat orang, yg penting kita tahu cara membahagiakan diri sendiri. Dan kalau soal rezeki, insya alloh yakin aja rezeki mah dari mana aja walau “hanya” di rumah 🙂

Leave a comment